Manusia dengan Berkah Agung


Dalam ilmu-ilmu manusia, sudah lama dikenal rumus ’kita bisa menjadi apa yang kita pikirkan’. Ketika perang dingin antara AS-Soviet demikian menakutkan, pikiran kolektif manusia berpikir bagaimana ia segera berakhir. Dan keruntuhan Soviet membuat perang dingin berakhir, digantikan dengan kedigdayaan AS yang tidak tertandingi.
Bom teroris yang meraung-raung, kemudian berusaha menjadi pengimbang. Ini disusul oleh bom yang lebih besar di Afghanistan dan Irak. Dalam keadaan seperti ini, pikiran kolektif mulai rindu dengan negara yang bisa menjadi pengimbang AS. Dan jangan-jangan ini bisa berujung pada datangnya perang dingin kembali.
Indonesia juga serupa. Ketika orde baru berkuasa, banyak sekali orang yang merindukan kebebasan. Dan tatkala orba runtuh, kebebasan memang datang. Namun, mulai ada tanda-tanda banyak manusia Indonesia yang bosan kebebasan, rindu keteraturan. Jangan-jangan pikiran kolektif seperti ini juga akan menghasilkan orde baru dengan baju baru.
Sebagaimana ditulis Dr. Michael Newton dalam Journey of the Souls, banyak sekali jiwa yang mengalami depresi berat, setelah dihipnoterapi ternyata berkejaran dengan keinginan sejak kehidupan-kehidupan sebelumnya. Dalam derajat yang berbeda, umat manusia juga sedang berkejar-kejaran dengan keinginan. Tanda-tandanya, menyukai sesuatu yang akan terjadi nanti, membenci sesuatu yang sudah kita genggam kini.
Setelah yang nanti menjadi sesuatu yang kini, lagi-lagi kita merindukan yang nanti Ini serupa dengan kisah Nasrudin. Suatu hari Nasrudin sedang asik memancing. Tiba-tiba polisi datang. Dan berlari kencanglah Nasrudin yang diikuti polisi di belakangnya. Setelah berhenti karena kelelahan, polisi sambil membentak bertanya : ’mana tiket masuknya?’. Dengan polos Nasrudin mengeluarkan tiket dari kantong. Sadar polisinya keliru, ia bertanya balik: ’kalau punya tiket kenapa tadi lari?’. Dengan lugu Nasrudin berucap: ’saya tadi lari karena penyakit maag kambuh, ingin cepat-cepat bertemu dokter’.
Beginilah kehidupan banyak orang. Terlalu banyak waktu terbuang untuk berlari. Setelah habis energi, baru sadar kalau berlari untuk sebuah kesalahpahaman. Dan yang paling banyak bertanggungjawab terhadap hidup yang terus berlari adalah keserakahan/ keinginan. Kebahagiaan vs. keinginan Sadar akan bahayanya keserakahan inilah, kemudian tidak sedikit guru yang belajar mengelolanya. Seperti menangkap sapi liar, awalnya melawan, memberi penjelasan kalau terpenuhinya keinginan adalah tanda dicapainya kebahagiaan. Namun, apa pun alasannya, tetap keinginan dikembalikan ke tempat semula, hanya sebagai pembantu bukan penguasa.
Makanya ada yang mencoba bercakap-cakap dengan keserakahan. Hai keserakahan, rumah siapakah yang suka kau kunjungi?. ’Rumah orang kaya karena di sana saya jadi raja’. Tatkala pertanyaannya dibalik, rumah siapa yang dibenci, ia menjawab sedih: ’rumah orang bijaksana karena di sana saya hanya jadi pembantu’. Inilah tanda-tanda awal manusia yang mulai diterangi kebijaksanaan, keinginan dan keserakahan kembali ke tempat duduk asalnya sebagai pembantu setelah lama congkak jadi penguasa. Kalau bukan terpenuhinya keinginan sebagai ukuran kebahagiaan, lantas adakah ukuran kebahagiaan yang lain?
Seorang pejalan kaki ke dalam diri pernah berbisik, orang yang bahagianya amat mendalam adalah orang yang sadar di dalam batinnya bahwa dialah yang paling hina. Untuk itu, tidak ada pilihan lebih baik untuk menemukan kebahagiaan terkecuali rendah hati. Sebagai akibat meletakkan diri di tempat terendah, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghinanya. Karena tidak bisa dihina, maka ia bahagia di mana saja berada.
Di dunia Sufi pernah lahir Faried yang agung. Oleh gurunya pernah diajari: ’Faried kapan saja engkau dipukuli orang, cepat cium kakinya, kemudian pulanglah tanpa rasa dendam’. Murid-murid Kristus telah lama diajari hanya kasih yang bisa membuat setetes jiwa menjadi lautan Tuhan. Lebih terang lagi ada yang menulis: all souls are perfected in love. Bhisma pernah berpesan pada Yudistira tentang orang suci ketika tubuhnya beberapa saat lagi akan wafat. Orang suci adalah manusia dengan batin tenang seimbang. Dalam batin seperti ini, semua arah adalah indah. Bagi segelintir pencari kesucian di jalan Buddha, penderitaan bukanlah sesuatu yang ditakuti. Ketika memilih antara penderitaan dengan kebahagiaan, mereka memilih penderitaan. Terutama karena penderitaan seperti air suci yang memurnikan perjalanan. Inilah contoh-contoh manusia yang berbahagia tanpa tenggelam dalam keserakahan. Mereka memiliki pengertian tentang kekayaan secara berbeda.
Contentment is the greatest wealth. Dalam rasa berkecukupan itulah letak kekayaan teragung. Orang-orang seperti ini kerap berpesan, ketika orang menyebut dirimu agung, bukan karena engkau agung, namun karena jiwa mulai tersambung dengan jiwanya jiwa. Orang-orang theistik (Islam, Nasrani, Hindu) memberi simbol angka satu terhadap hal ini. Terutama karena yang dua (diri dan Tuhan) telah menyatu. Orang-orang non theistik (contohnya Buddha) memberi simbol angka nol akan hal ini. Secara lebih khusus karena semua sudah sempurna apa adanya. Tidak ada lagi hal positif yang perlu ditambahkan, tidak ada lagi hal negatif yang perlu dikurangkan. Terlihat berbeda memang. Dan biarlah pohon kelapa tumbuh di pantai, pohon cemara bertumbuh di gunung. Keduanya bertumbuh indah di tempat asalnya.
Makanya di Timur pernah lahir pendapat tentang ciri-ciri manusia dengan berkah agung: ’memandang perbedaan sebagai keindahan, melindungi diri dengan perisai kesabaran, kekayaannya adalah rasa berkecukupan, hidupnya diterangi matahari kesadaran, dan kalau terpaksa mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan’.
Di Barat pernah ada yang menulis: ’my parent hate me when they know that I am a Buddhist but they love me when they know that I am a Buddha’. Orang tua pernah terkejut melihat anaknya karena kerap masuk Vihara. Namun ia cinta sekaligus bangga ketika melihat puterinya menunjukkan sifat-sifat bajik setiap hari. Seperti memberikan tanda makna, bukan judul agama yang membuat seseorang menjadi agung, melainkan kebajikan-kebajikan dalam keseharian

0 comments on Manusia dengan Berkah Agung :

Post a Comment